Dramaperumusan teks proklamasi

Link pemersatu

2023.12.12 14:14 sumpitsakit Link pemersatu

Link pemersatu submitted by sumpitsakit to ondonesia [link] [comments]


2023.12.12 14:12 SiblingBondingLover Link pemersatu

Link pemersatu submitted by SiblingBondingLover to indonesia [link] [comments]


2021.08.17 15:01 trikora Kapan Soekarno Rekaman Suara Pembacaan Teks Proklamasi Indonesia?

Kapan Soekarno Rekaman Suara Pembacaan Teks Proklamasi Indonesia? submitted by trikora to indonesia [link] [comments]


2021.08.16 19:13 richard_kountol Upacara di Istana Bakal Munculkan Naskah Asli Teks Proklamasi

Upacara di Istana Bakal Munculkan Naskah Asli Teks Proklamasi submitted by richard_kountol to indonesia [link] [comments]


2019.08.18 23:35 Stella788 5 Gaya Berpakaian Artis Tanah Air Saat Bertema Kemerdekaan Indonesia!

5 Gaya Berpakaian Artis Tanah Air Saat Bertema Kemerdekaan Indonesia!
https://preview.redd.it/hsp9xr7g0ah31.jpg?width=1350&format=pjpg&auto=webp&s=7a42aa735991742646d8ae3fac61e6eb9f13d8a6
17 Agustus merupakan Hari Kemerdekaan bagi negara Indonesia. Pada 74 tahun silam, tepatnya 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi yang menandai kemerdekaan Republik Indonesia setelah berjuang para pejuang sekuat tenaga melawan penjajah.
Tanggal 17 Agustus menjadi menjadi hari paling bersejarah, setiap tanggal 17 Agustus pun selalu dirayakan begitu meriah oleh seluruh masyarahat Indonesia. Selain dengan upacara, perayaan dengan berbagai perlombaan biasanya mewarnai perayaan 17 Agustus di berbagai wilayah di Indonesia.

Baca selengkapnya di BeritaOnline24
submitted by Stella788 to u/Stella788 [link] [comments]


2019.08.16 16:02 pelariarus Apa Makna Kemerdekaan Indonesia Bagi Kalian?

Beberapa hari ini dalam pikiran sebelum tidur ada hal yang mengganjal pikiran saya. Apa sih makna kemerdekaan Indonesia bagi kalian? Apakah benar kalaupun dulu tidak ada yang berjuang memerdekakan diri, Indonesia akan makmur? Akan lebih adil ? Apakah suku saya ikut berjasa berkorban untuk kemerdekaan? Buat apa saya merayakan kemerdekaan?
Kemerdekaan Indonesia itu kecelakaan, kecelakaan yang beruntung. Kecelakaan yang tragis juga. Setiap kali kita merayakan kemerdekaan Indonesia kita juga diingatkan dengan masa bersiap, pembantaian bangsawan Sumatra Timur, pengusiran orang Cina ke daerah urban dan masih banyak tragedi lain. Apakah pantas kita merayakan kemerdekaan?
Di sisi lain buat apa kita merayakan kalau hasilnya seperti ini? Oligarki penguasa-pengusaha, mainan agama dan nasionalisme buat kepentingan pribadi? Dulu penguasanya Belanda dan Bangsawan sekarang penguasanya Pengusahan dan Pejabat. Apakah taraf hidup rakyat meningkat dengan kemerdekaan? Mungkin iya, tetapi seharusnya dibandingkan dengan dunia seharusnya bisa lebih baik.
Jadi apa makna merayakan kemerdekaan? Bagi saya kemerdekaan Indonesia itu sebuah harapan. Ketika dari Sabang sampai Merauke (maaf) semuanya mendukung dua orang di Jawa untuk memerdekakan diri maka masih ada harapan untuk persatuan. Benar sehabis proklamasi semua orang punya pikiran sendiri sendiri Indonesia mau jadi apa dan kekerasan berkecamuk karena perbedaan itu, namun sejarah itu tidak bisa diubah dan apa yang telah terjadi harus diterima; orde lama, 65, orba, reformasi, semuanya membentuk kita sekarang.
Bagi saya proklamasi kemerdekaan itu awal sebuah proses. Proses menjadi Bangsa Indonesia, Bangsa Indonesia itu bukan prasyarat negara Indonesia tapi adalah tujuan akhir negara Indoensia. Karena di teks proklamasi tertulis “hal hal lain dibicarakan belakangan”. Indoensia bangsa yang belum selesai dan setiap tahun kita terus diingatkan untuk meneruskan usaha ini.
MERDEKA !!!
Disclaimer: Saya pake Bahasa Indonesia sepenuhnya karena instruksi Bapak u/jokowi_do2.
PS: maaf kalu panjang saya lagi pusing habis nggak tidur 2 hari karena kerja
submitted by pelariarus to indonesia [link] [comments]


2018.12.30 06:34 ExpertEyeroller Makna dari kata 'Agama'. Studi kasus: upaya rakyat Bali untuk memeroleh status 'Agama Hindu'

Esai ini bertujuan untuk menelaah apa arti dari kata 'agama' dari beberapa sudut pandang. Pengalaman orang Bali dalam upaya mereka untuk memeroleh status agama adalah studi kasus yang paling ditekankan.
Pada bagian I dan II, akan dipaparkan agama dari sudut pandang pemerintah.
Pada bagian III, IV, dan V, akan dipaparkan agama dari sudut pandang rakyat Bali.
Pada bagian VI, akan dipaparkan agama dari sudut pandang para ahli anthropologi.
Pada bagian VII, akan dipaparkan konklusi dari konflik definisi agama antara pemerintah dengan rakyat Bali.
TL:DR here

I. Agama dalam Konstitusi

Ketika kemerdekaan terlihat sudah dekat dari tangan pada akhir masa penjajahan Jepang, sebuah badan bernama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI) dibentuk untuk menyusun dasar dari persatuan nasional secara formal. Pada hari terakhir pertemuan BPUPKI sesi pertama, Sukarno memperkenalkan Pancasila kepada majelis sebagai sesuatu yang dia bilang telah ia gali dari relung tradisi kuno Indonesia, yang pada akhirnya menjadi dasar dari negara Indonesia kontemporer. Namun, proposisi ini ditentang oleh perwakilan politik Islam yang merasa bahwa peran Islam dalam formulasi negara baru ini tidak diwakilkan olehnya.
Pada sesi kedua pertemuan BPUPKI, dibentuklah panitia berisi tujuh orang yang bertujuan untuk memformulasikan fondasi hukum konstitusi negara baru ini. Supomo, satu dari tujuh orang tersebut, mengadvokasi berbagai hukum adat di kepulauan agar mendapat peran sentral dalam penulisan konstitusi. Advokasi dia berhasil. Ayat 29 dari draf konstitusi menyatakan bahwa ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’.
Kata ‘kepercayaan’ disini merupakan ajuan dari Wongsonegoro, seorang pemimpin kebatinan Jawa. Dengan ayat tersebut, status ‘kepercayaan’ yang berupa sinkretisme mistik berbagai paham animisme lokal dianggap setara dengan agama Abrahamik–Islam dan Kristen. Hal ini menimbulkan polemik dari delegasi Muslim sehingga ayat tersebut diamandemen agar lebih sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai ajaran Muslim dengan menambahkan tujuh kata ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’. Namun, ketika Hatta meratifikasi konstitusi Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, amandemen tersebut tidak tampak. Sila pertama pada Pancasila tidak memakai kata ‘Allah’, melainkan ‘Tuhan’, dan tujuh kata tersebut hilang secara ‘misterius’looks at Hatta.
Pasal 29, UUD 1945
  1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Setelah kemerdekaan de facto berhasil dicapai, perdebatan mengenai peran agama dalam negara Indonesia masuk ke ranah konstitusi. Tekanan dari kaum Muslim yang merasa ‘kalah’ karena penghilangan tujuh kata membuat kaum nasionalis mengalah. Renegosiasi kuasa antar kedua kaum politik tersebut dapat terlihat dari dua hal: didirikannya Kementerian Agama(Kemenag) yang diketuai oleh kaum Muslim, dan perubahan konstitusi, di mana Ayat 29 UUD 1945 digantikan dengan dua pasal dari UUD 1950:
Pasal 18, UUDS 1950
Setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsjafan batin dan pikiran.
Dan
Pasal 43, UUDS 1950
  1. Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Jang Maha Esa.
  2. Negara mendjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanja masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanja dan kepertjajaannja itu.
  3. Penguasa memberi perlindungan jang sama kepada segala perkumpulan dan pesekutuan agama jang diakui.Pemberian sokongan berupa apapun oleh penguasa kepada pedjabat-pedjabat agama dan persekutuan-persekutuan atau perkumpulan-perkumpulan agama dilakukan atas dasar sama hak.
  4. Penguasa mengawasi supaja segala persekutuan dan perkumpulan agama patuh-taat kepada undang-undang, termasuk aturan-aturan hukum jang tak tertulis.
UUDS 1950 mengakui kebebasan beragama secara terbatas. Namun, tidak seperti UUD 1949, ia tidak mengakui kebebasan untuk berpindah agama. Penghilangan klausa ini merupakan hasil dari perdebatan sengit di parlemen setelah kaum Muslim menyatakan keberatan atasnya. Mereka mengatakan bahwa dalam Islam, ‘tidak boleh ada yang pindah agama’.
Di luar kritik kaum Muslim, terdapat fakta bahwa pasal 43 UUD 1950 menaruh kekuasaan yang sangat besar kepada pemerintah untuk mendiktekan kehidupan religius rakyat. Hak kebebasan beragama secara garis besar tunduk pada ‘kepentingan negara’ dan dikekang oleh standar yang dicanangkan oleh pemerintah. Gvosdev menyatakan bahwa ini adalah contoh dari ‘subversi kebebasan beragama’, di mana hak spiritual rakyat dalam sebuah pasal konstitusi dilanggar secara implisit maupun eksplisit dalam pasal lain.[1] Dengan sudut pandang pasal 43, pasal 18 terlihat seperti hanya lip service belaka.

II. Otoritas Kementerian Agama

Kemenag dikepalai oleh K.H. Wahid Hasyim yang merupakan salah satu pemimpin dari Nahdhatul Ulama(NU) dan partai politik Masyumi. Bagi Hasyim, Hamka, dan intelek Muslim lainnya, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lain hanyalah merupakan penerjemahan dari istilah tawhid--yakni monoteisme yang merupakan pusat dari ajaran Islam. Melalui Kemenag, kaum muslim tidak hanya memiliki ruang untuk mengembangkan institusi sosial seperti pernikahan dan pembelajaran secara otonom dari pemerintahan nasionalis, tapi nilai-nilai Islam juga merembes ke dalam standar regulasi religius kenegaraan. Pada 1950an, peran utama Kemenag berwujud dalam ‘supervisi’ kelompok-kelompok yang dianggap ‘menyimpang’ atau ‘belum beragama’.
Di bawah kepemimpinannya kaum Muslim, dikeluarkan Regulasi Kemenag No. 9/1952/Bab 4 yang bertuliskan:
‘Aliran kepercayaan . . . ialah suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih terbelakangan. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa’.
Konsep ‘aliran kepercayaan’ berbeda dengan konsep ‘agama’ yang didefinisikan dalam pandangan Judaisme-Kristiani-Muslim, yang juga merupakan pandangan dari delegasi Muslim pada rapat BPUPKI. Agar sebuah komunitas spiritual dapat dianggap sebagai agama oleh pemerintah, ia harus memiliki sebuah kredo monoteistik yang diakui dunia internasional. Selain itu, ia juga harus memiliki kitab suci yang dipersembahkan oleh seorang nabi.
Kata ‘agama’ sendiri merupakan sesuatu yang datang dari bahasa Sansekerta, dimana ia memiliki dua penggunaan.
  1. Kumpulan teks spesifik yang mengatur pemujaan terhadap berbagai dewa-dewi, di mana kitab yang mengatur pemujaan terhadap dewa Siwa dirujuk sebagai ‘agama Siwa’, kitab yang mengatur pemujaan terhadap dewa Wisnu dirujuk sebagai ‘agama Wisnu’, dan sedemikian.
  2. Sebuah atau sekumpulan doktrin bersifat suci, dimana contoh dari dari doktrin tersebut adalah ‘agama Siwa‘ dan ‘agama Buda’ seperti yang tertulis dalam kakawin Sutasoma. Konsep kedua ini berbeda dengan konsep agama modern karena ia tidak memberikan makna eksklusivitas--pada zaman Majapahit, seorang yang beragama Siwa bisa juga beragama Wisnu dan Buda sekaligus.
Kedua makna lampau tersebut digantikan oleh makna baru yang serasi dengan konsep ‘Religion’ dari pemikiran Abrahamik. Artinya, Kemenag dan Negara Indonesia yang baru saja lahir tersebut hanya mengakui tiga ‘agama’ yaitu Islam, Protestan, dan Katolik, sedangkan orang-orang tidak memiliki ikatan kepada ketiga komunitas tersebut dianggap ‘belum beragama’.
Kebijakan dari Kemenag saat itu yang didominasi oleh Masyumi memberikan kuasa kepada misionaris Kristen dan Muslim untuk menyebarkan agama mereka kepada orang-orang ‘belum beragama’. Memeluk ‘aliran kepercayaan’ dianggap tidak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai warga negara Indonesia dikarenakan oleh tiga hal:
  1. Sila pertama negara Indonesia berdasarkan pada ‘kepercayaan terhadap Tuhan’, karena itulah semua warga diwajibkan ‘beragama’.
  2. ‘Aliran kepercayaan’ dianggap berasal tradisi etnis dan tidak universal, sehingga ketaatan pada kepercayaan tersebut dianggap kolot dan terbelakang. Anggapannya adalah bahwa ia akan menghambat ‘kemajuan’ rakyat Indonesia.
  3. Identifikasi diri terhadap tradisi etnik dianggap sebagai ekspresi ketidaksetiaan pada negara kesatuan Indonesia. Ini karena administrasi kolonial Hindia-Belanda dulu dianggap menggunakan kodifikasi hukum adat sebagai sebuah penghambat terhadap kemajuan nasionalisme Indonesia
Sebuah survei yang diutus ke Bali oleh Kemenag pada tahun 1950 menyimpulkan bahwa dibalik lapisan tipis konsep Hindu dan Buddhisme, kehidupan spiritual rakyat Bali diisi oleh praktik-praktik bersifat animis dan politeis lokal yang heterogen. Lebih lagi, orang-orang Bali pun tidak dapat saling setuju mengenai nama dari kepercayaan yang mereka peluk, apalagi mengenai kumpulan kitab suci maupun nabi untuk memberi legitimasi di mata surveyor. Akibatnya, rakyat Bali dikategorikan sebagai pemeluk 'aliran kepercayaan' yang 'belum beragama' dan menjadi target yang legal untuk aktivitas misionaris Kristen dan Muslim.
Rasa terkejut dan takut yang dialami oleh pemerintahan lokal Bali terhadap peraturan baru dari Kemenag mendorong mereka untuk memproklamasikan bahwa Bali merupakan sebuah ‘dinas agama otonom’ pada tahun 1953. Didorong oleh keadaan demikian, para intelektual dan pemimpin spiritual Bali berupaya untuk mereformasi kepercayaan mereka demi meraih status ‘agama’ seperti yang didefinisikan oleh Kemenag. Oleh karena itu, mereka berpaling kepada India sebagai sumber dari Agama Hindu yang telah diakui sebagai agama yang bersifat ‘universal’ di pandangan intelegensia internasional. Upaya tersebut dihadang oleh dua masalah yang saling berkaitan:
  1. Apa hubungan antara Agama Bali dengan Agama Hindu; atau dengan kata lain, apa hubungan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India?
  2. Apa relasi antara ‘agama’ dengan ‘adat’, dan bagaimana cara untuk memisahkan kedua domain tersebut?

III. Bali Mempertanyakan Agama Mereka

Merupakan hal yang keliru untuk menganggap bahwa upaya untuk mereformasi spiritualitas Bali baru dimulai setelah proklamasi dari Kemenag. Pada tahun 1936 organisasi edukasional Bali Darma Laksana mulai mempublikasikan sebuah jurnal bulanan di Singaraja yang dinamakan Djatajoe. Sedari awal publikasinya, Djatajoe memberikan posisi sentral pada perdebatan mengenai reformasi spiritual Bali dalam kolom-kolomnya.
Sebuah artikel yang dipublikasikan oleh Djatajoe berjudul 'Kebingoengan kita tentang Agama' dapat mengilustrasikan isi dari pikiran rakyat Bali pada saat itu. Penulisnya memaparkan bahwa:
agama kita berdasar dari adat yang dicampur dengan berbagai ekstrak dari Hinduisme sehingga tidak dapat dibandingkan dengan agama apapun di India; menurut pandangan orang luar, kita tidak memiliki agama yang layak dan tidak menyembah Tuhan, tetapi seperti orang gila yang menyembah segala hal yang kita temui
(Djatajoe 1937, 2/4:98)
Menurut sang penulis, opini tersebut keliru karena terdapatnya asumsi salah bahwa orang Bali memuja arca yang mereka pakai dalam proses ritual. Padahal sebenarnya arca tersebut hanyalah medium yang berfungsi untuk memfokuskan pikiran manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Masalahnya, kebanyakan orang Bali tidak tahu mengenai agama mereka sehingga ritual serta arca pemujaan memiliki variasi yang tak berujung sepenjuru pulau. Karena itulah, sang penulis menganjurkan
‘kita harus mencari kebenaran dan makna agama kita agar kita dapat menyanggah tuduhan-tuduhan dari para orang asing’
(Djatajoe 1937, 2/4:98)

IV. Agama vs Adat

Dihadapkan pada pandangan merendahkan orang asing terhadap spiritualitas mereka, orang-orang Bali mempertanyakan 'agama' mereka, berdebat mengenai bagaimana mereka harus menamai 'agama' mereka dan nama dari Tuhan mereka, serta hubungannya mereka dengan Hinduisme di India. Meskipun terdapat kesepakatan sementara untuk menamakan agama mereka sebagai Agama Hindu Bali, nama dari Tuhan mereka masih dipertanyakan. Faktanya adalah bahwa sebelum dihadapkan dengan pandangan merendahkan orang asing, 'agama' bagi orang Bali tidak dipandang sebagai sesuatu yang tersendiri maupun membutuhkan nama karena bagi mereka, agama tidak memiliki ruang tersendiri dalam hidup mereka yang terpisah dari kehidupan sehari-hari mereka. Sebuah kutipan dari Djatajoe mengungkapkan sentimen ini:
Sebelum putra-putra dan putri-putri Bali ada yang bersekolah, dan di Bali belumlah pernah berdiri surat-surat kabar, maka keadaan di Bali sudahlah memeluk agama ini, yang mana berjalan terus, tiadalah ada mencela dan menyalahkan, yang mana kita dengar cuma ada pembicaraan ‘adat desa ini begini dan desa itu begitu’, begitu pula ‘orang di bagian sana jalanngabennya begini’ . . . Lantas tiada disebut upacara agama, melainkan disebut adat desa. Jadi ringkasnya agama yang sebenarnya tiada diketahui; yang diketahui perbedaannya cuma adat desa dan agama yang diketahui cuma agama Bali, dan tiada pernah kedengaran malu atau marah dicela oleh Tuan [pejabat kolonial].
(Djatajoe 1937, 2/5:131)
Konstruksi identitas ke-Bali-an yang terdiri dari dua komponen ‘adat’ dan ‘agama’ dapat dilihat sebagai fenomena reaksioner terhadap serangan dari luar. Kata 'adat' berasal dari bahasa Arab yanng merujuk pada kumpulan hukum dan norma lokal yang tidak merupakan hukum syariah. Ketika diperkenalkan oleh Belanda kepada Bali, kata adat menggantikan berbagai terminologi untuk berbagai norma lokal. Norma-norma ini mengatur hubungan antara berbagai kelompok sosial dan menanamkan rasa solidaritas dalam komunitas desa. Apropriasi istilah adat dalam pemikiran Bali memiliki dua akibat:
  1. Penciptaan domain konseptual baru: ‘tradisi’. Pada awalnya, lawan dari kata 'tradisi' bukanlah 'agama', melainkan 'administrasi' pemerintahan kolonial.
  2. Penggabungan berbagai norma adat ke dalam istilah generik ini mengubah makna mereka bagi orang-orang Bali. Apa yang sejauh itu merupakan perbedaan antar desa yang secara sosial bersifat fleksibel berubah menjadi sesuatu yang kaku.
Bali pada masa pra-kolonial tidak mengenal perbedaan antara ruang ‘tradisi’ dengan ruang ‘agama’. Adat merupakan elemen dari pandangan kosmik orang Bali yang mendeskripsikan tatanan semesta dan tatanan sosial berdasarkan leluhur mereka, yang sekaligus juga mendeskripsikan tatanan yang ideal dan mengatur perilaku yang sesuai dengan tatanan tersebut. Perhatian ditujukan bukan terhadap keimanan yang benar(orthodoxy), melainkan dengan menjalankan ritual sebagaimana 'mestinya'(orthopraxy). Alih-alih sesuatu yang harus dipercaya, agama Bali merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan.
Berbeda dengan agama universal yang memiliki beberapa doktrin abstrak dan simbolisme sentral yang dapat ditransportasikan ke berbagai kebudayaan berbeda di berbagai penjuru dunia, kepercayaan Bali sangatlah lokal. Hal ini karena kepercayaan Bali terdiri dari ritual-ritual spesifik yang mengatur interaksi antara grup yang spesifik dengan grup lainnya, dengan leluhur mereka, dan dengan wilayah mereka. Bagi rakyat Bali, agama merupakan sesuatu yang meresap ke setiap sudut kehidupan mereka dan tidak dapat dipisahkan dengan semesta kebudayaan mereka.
Kombinasi dari perubahan internal dan tekanan eksternal mendorong kaum intelektual Bali untuk mengkodifikasi agama mereka. Pada kongres pertama mereka pada tahun 1937, pemimpin Bali Darma Laksana meminta bantuan kepada berbagai pandita untuk mengkompilasikan sebuah Kitab Suci yang akan mereka pergunakan sebagai sebuah tandingan terhadap Al-Quran bagi umat Muslim. Mereka merasa bahwa ketika rakyat Bali mengetahui isi dari agama mereka, mereka akan lebih mudah untuk mempertahankan diri dari tuduhan ‘penyembahan berhala’ yang dilontarkan oleh umat Muslim dan Kristiani. Namun, tiga tahun kemudian, para pandita mengabarkan bahwa upaya pembentukan kitab suci itu gagal karena mereka tidak dapat memisahkan agama dari adat. Karena setiap wilayah di Bali memiliki adat yang berbeda, mereka gagal mengonstruksi sebuah agama yang valid untuk keseluruhan pulau Bali.

V. Rakyat Mendebat Agama

Pada tahun 1957, seorang antropolog Amerika bernama Geertz sedang melakukan penelitian di Bali. Dia sedang mengikuti rangkaian upacara ngaben. Pada malam sebelum mayat dibakar, mayat tersebut perlu 'dijaga' oleh sekitar 10 orang yang biasanya anak muda. Geertz merupakan salah satu orang yang ikut menjaga mayat tersebut, sehingga ia dapat mengobservasi terjadinya perdebatan anak-anak muda mengenai spiritualitas mereka.
Pertanyaan yang mereka lontarkan terhadap satu sama lain adalah: bagaimana caranya memisahkan mana yang merupakan 'adat' sekuler, dan mana yang merupakan 'suci'? Apa semua rangkaian acara dalam ngaben benar-benar sesuatu yang diwajibkan dan benar-benar 'suci'? Ataukah kebanyakan ritual dalam upacara ngaben hanyalah merupakan 'adat' yang dilakukan karena kebiasaan semata? Bagaimana cara membedakan antara keduanya?
Satu orang melontarkan ide bahwa bagian dari ritual yang bertujuan untuk memperkuat ikatan komunitas seperti pembangunan dan pengangkutan patung merupakan adat yang tidak bersifat suci, sedangkan bagian dari ritual yang secara langsung terkait dengan dewa-dewi seperti persembahyangan dan pemercikan air tirtha merupakan prosesi yang bersifat suci. Satu orang lainnya berargumen bahwa bagian ritual yang bisa dijumpai di banyak upacara merupakan sesuatu yang suci--misalnya, pemercikan air tirtha--sedangkan bagian ritual yang cuma muncul sesekali dalam kebanyakan upacara bukanlah suci.
Kemudian diskusi melenceng ke topik 'apa sih gunanya agama?'. Satu orang yang terpengaruh oleh Marxisme mengadvokasikan relativisme sosial: "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Agama merupakan ciptaan manusia. Manusia menciptakan Tuhan dan memberikan nama padanya. Agama merupakan sesuatu yang berguna dan berharga, namun ia tidak memiliki validitas suernatural. Kepercayaan bagi seseorang merupakan takhayul belaka bagi orang lain. Pada dasarnya, semua itu hanya 'adat'.
Proklamasi khas Marxist tersebut disambut dengan ketidaksetujuan, penolakan, dan kekhawatiran. Seorang anak kepala desa memberikan sebuah posisi yang simpel dan nonrasional: argumen intelektual bukanlah sesuatu yang relevan dalam keimanan. Ia tahu dari dalam hatinya bahwa dewa-dewi benar-benar ada. Orang-orang yang religius seperti dirinya sendiri dapat merasakan kehadiran para dewa-dewi ketika sedang menjalankan ritual.
Seorang anak muda lain yang lebih intelektual mengonstruksi dan menciptakan simbologi alegori kompleks untuk menjelaskan ritual, dan ia melakukannya di tempat itu juga dalam waktu itu juga. Ia menjelaskan bahwa upacara potong gigi taring melambangkan bahwa manusia lebih dekat dengan dewata dibandingkan dengan binatang yang memiliki taring. Ritual ini berarti ini, ritual itu berarti itu; warna ini melambangkan 'keadilan', warna itu melambangkan 'keberanian', etc. Yang terlihat tak bermakna sebenarnya sarat akan arti, jika kita memiliki kunci untuk menafsirkannya.
Seorang lagi yang lebih agnostik mengajukan argumen yang moderat: Kita tidak dapat memikirkan hal-hal ini karena mereka tidak dapat dicerna oleh pikiran manusia; kita tidak bisa tahu. Sikap yang harus kita ambil adalah sikap konservatis--percayalah hanya kepada sekitar setengah dari apa yang kita dengar. Dengan begini, kita tidak akan tertarik ke suatu titik ekstrim.
Diskusi berlanjut hingga pagi. Selain si anak kepala desa yang merupakan seorang birokrat, peserta diskusi yang lain hanyalah petani dan pengrajin. Mereka memperhatikan bagaimana caranya memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan sosial, bagaimana cara menjembatani antara dunia ini dengan dunia selanjutnya, antara sekuler dengan suci. Ini adalah contoh dari sebuah crisis of faith dalam level masyarakat.
Tingkat keseriusan dalam beragama macam ini juga mulai tampil di banyak segi kehidupan sosial di Bali. Di banyak upacara, seorang pinandita yang bertugas untuk memercikan umat dengan air tirtha menemukan bahwa banyak anak muda yang menerima percikan tersebut dengan sangat khidmat dan antusias. Jika biasanya hanya dibutuhkan satu anggota keluarga yang perlu dipercikan oleh air suci, semua anak dalam satu keluarga dengan kemauan sendiri datang ke pura untuk diperciki air tirtha.
Setelah menerima percikan air, mereka mendiskusikan air tirtha bukan dalam konteks mistikal, tapi emosional. Mereka bicara bahwa emosi dan kekhawatiran mereka disejukan oleh tirtha ketika air tersebut jatuh pada mereka, dan mereka bicara bahwa mereka merasakan kehadiran para dewa-dewi. Orang-orang yang lebih tua dan yang lebih tradisional melihat anak-anak muda ini dengan bingung. Salah seorang dari mereka bilang bahwa mereka merasa seperti lembu yang sedang melihat orkestra gamelan--bingung bukan kepalang.

VI. Agama Menurut Antropologi

Beberapa antropolog telah berusaha mendefinisikan 'agama' dengan cara masing-masing. Di bagian ini, akan dipaparkan teori 'agama' dari dua antropolog yang sangat berpengaruh beserta kritik terhadap mereka.

A. Émile Durkheim: Sacred-profane Dichotomy

Dikenal sebagai salah seorang 'bapak antropologi', Durkheim mendeskripsikan konsepsinya mengenai agama dengan melakukan studi terhadap orang-orang aborigin Australia:
A religion is a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden – beliefs and practices which unite into one single moral community called a Church, all those who adhere to them
Dikotomi sacred-profane yang dikemukakan Émile Durkheim mengatakan bahwa ada suatu kumpulan simbol dalam suatu kebudayaan yang termasuk ke dalam ruangan sakral, sedangkan kumpulan simbol yang tidak termasuk ke dalam ruang sakral tersebut dikatakan profane/duniawi. Contoh dari simbol-simbol sakral Abrahamik adalah gereja, masjid, kitab suci, ritual keagamaan--yakni merupakan sesuatu yang suci, spiritual, dan tidak dapat diganggu-gugat. Simbol-simbol sakral merupakan representasi dari segala hal yang bersifat transenden dari kehidupan sehari-hari. Kebalikannya, 'duniawi' adalah segala hal lain seperti pekerjaan, tagihan listrik, dan commute.
Bagi Durkheim, agama adalah praktek yang membagi kehidupan antara simbol-simbol sakral dengan simbol-simbol duniawi, dan menjaga jarak antara kedua golongan simbol tersebut. Ritual keagamaan merupakan praktik afirmasi yang menjaga kesakralan dari beberapa simbol seperti patung dewa Shiva, Ka'bah, maupun Salib.
Misalnya di tahun 1880 ada seorang pejabat kolonial barat bernama Émile yang memiliki paham liberal. Émile yang berasal dari kebudayaan Abrahamik dituntut untuk berinteraksi dengan kebudayaan/kepercayaan Bali yang non-Abrahamik. Émile merasa memiliki tanggungjawab untuk memodernkan masyarakat Bali yang dianggap primitif, tapi pada saat yang sama dia juga ingin menghormati kebudayaan Bali. Untuk itu, Émile berusaha memilah unsur kebudayaan Bali manakah yang sakral, dan yang manakah yang duniawi. Aspek yang duniawi akan dianggap aman untuk di-"modern"-kan, sedangkan aspek yang sakral akan diperlakukan dengan lebih hati-hati.

Kritik terhadap Durkheim

Dikotomi yang dikemukakan oleh Durkheim telah diserang oleh sangat banyak akademisi. Antropolog yang mempelajari kebudayaan non-Eropa menemukan bahwa pemisahan simbol-simbol ke dalam kedua kategori sakral dan duniawi tidak selalu bisa dilakukan. Seperti yang sudah dipaparkan dalam essay ini, spiritualitas Bali sebelum masa kemerdekaan merupakan salah satu contoh spiritualitas yang tidak memiliki dikotomi sakral-duniawi.
Dikotomi sakral-duniawi dianggap hanya berlaku pada agama Abrahamik. Lebih lanjut, ketika budayawan/antropolog yang menggunakan sistem dikotomi ini gagal dalam mendeskripsikan kepercayaan spiritual non-Abrahamik, para antropolog tersebut memiliki kecendrungan untuk memandang rendah kepercayaan tersebut. Tomoko Masuzawa mengatakan bahwa pandangan dunia macam ini sangat Eurosentrik dan menurunkan status kepercayaan spiritual lainnya sebagai 'animisme', 'dinamisme', atau 'totemisme' belaka. Dengan melakukan pelabelan macam ini, para budayawan/antropolog Eropa jaman dahulu dituduh kolonialis. Ini mungkin kritik yang paling tepat dalam studi kasus dalam essay ini
Durkheim juga mengatakan bahwa simbol yang dielevasi menjadi sakral berfungsi untuk memperkuat organisasi sosial dalam suatu kebudayaan. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa seseorang tidak dapat menjadi bagian dari lebih dari satu kebudayaan dalam waktu yang sama. Para akademisi menyanggah Durkheim dengan memberikan analisis terhadap beberapa contoh di mana dalam suatu lokasi, dua kebudayaan yang berbeda dapat secara sukses berbaur tanpa menghilangkan identitas spiritual mereka.

B. Clifford Geertz: Pervasive, Order-reinforcing Symbolic Systems

Geertz merupakan bapak dari Symbolic anthropology, sebuah cabang antropologi yang menekankan bahwa kebudayaan adalah
"a system of inherited conceptions expressed in symbolic forms by means of which men communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and attitudes toward life."
~Geertz, The Interpretation of Cultures. p. 89
Jika kebudayaan merupakan sistem simbolik, Geertz mengelaborasikan lebih bahwa agama merupakan kekuatan yang meneguhkan sistem simbol tersebut
Religion is:
  1. A system of symbols which acts to
  2. Establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by
  3. Formulating conceptions of a general order of existence and
  4. Clothing these conceptions with such an aura of factuality that
  5. the moods and motivations seem uniquely realistic.

Uraian:

A system of symbols which acts to...
Simbol disini maksudnya adalah segala hal memberikan makna selain dari simbol itu sendiri bagi seorang individu. Misalnya, langit mendung merupakan simbol dari datangnya hujan, ritual merupakan simbol dari ketakwaan, dll.
...establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by...
Simbol memotivasi dan memberikan atmosfir perasaan. Misalnya, seorang 'perokok' tidak dilabeli sebagai 'perokok' karena ia sekarang sedang merokok, tapi karena ia memiliki kecendrungan untuk merokok. Demikian pula dengan 'beriman'; seorang yang kita bilang 'beriman' tidak kita labeli seperti itu karena ia melakukan tindakan yang 'beriman', tetapi karena ia punya kecendrungan untuk melakukan tindakan tersebut.
Motivasi merupakan kecendrungan yang persisten untuk melaksanakan suatu aksi dan merasakan suatu perasaan dalam berbagai situasi. Ketika kita mendengar bahwa ExpertEyeroller itu orangnya 'narsis', kita akan memiliki ekspektasi bahwa ia akan bertindak secara tertentu. Misalnya, sering ngomongin diri sendiri, gak bisa menerima kritik, dan menjatuhkan orang lain. Kita juga memiliki ekspektasi bahwa ExpertEyeroller akan merasa sangat senang ketika namanya disebut, dan sangat sedih ketika namanya dilupakan. Namun, rasa senang tersebut sendiri bukan indikasi bahwa seseorang merupakan seorang 'narsis'
formulating conceptions of a general order of existence and . . .
Manusia dapat beradaptasi terhadap apa saja yang dapat ia konsepsikan. Namun, ia tidak dapat berhadapan dengan Chaos. Karena aset paling berharga bagi manusia adalah kemampuannya untuk berkonsepsi, perasaan takut yang paling besar akan muncul ketika ia dihadapi dengan sesuatu yang pikirannya tidak bisa cerna--the uncanny.Insert Lovecraft here
Ketika kita menemukan, merasakan, atau mengalami suatu hal yang baru, manusia harus dapat menjelaskan hal tersebut dalam kepada dirinya sendiri. Kegagalan sebuah kerangka dan pola pemikiran(spiritual, common sense, sains, filosofi, mitos) untuk menjelaskan hal-hal uncanny membuat seorang manusia jatuh ke dalam kegelisahan. Bahkan Einstein pun merasakan ketidakpuasan dan kegelisahan ketika dihadapi dengan mekanika kuantum yang acak--kegagalan untuk percaya pada fakta bahwa Tuhan bermain dadu.
Agama perlu memiliki kekuatan untuk menjelaskan hal-hal yang uncanny. Kepada para penganutnya, agama perlu memberikan kerangka pemikiran mengenai eksistensi diri sendiri dan eksistensi alam semesta, sehingga memberikan penganutnya rasa aman dari Chaos.
The problem of evil--atau mungkin lebih tepatnya the problem of suffering--merupakan kegagalan pikiran untuk memaknai penderitaan. Ketidakjelasan dari kejadian-kejadian empirik, tidak masuk akalnya penderitaan, dan tiadanya pertanggungjawaban dari semua itu dapat menumbuhkan kecurigaan bahwa dunia dan manusia didalamnya tidak memiliki order sama sekali. Tidak ada keteraturan empiris, tiada format emosional, tiada koherensi moralitas.
Respons yang diberikan oleh agama kepada semua masalah ini adalah sama: memformulasikan simbol-simbol yang mencitrakan keteraturan dunia--citra yang dapat memperhitungkan atau bahkan menyambut ambiguitas, teka-teki, dan paradox dari eksistensi manusia di dunia. Tujuannya bukanlah untuk menyangkal apa yang tidak dapat disangkal--bahwa ada kejadian yang tak dapat manusia jelaskan, bahwa hidup itu penuh penderitaan, atau bahwa badai turun menggemuruh pada mereka yang baik. Tujuannya adalah menyangkal bahwa alam semesta itu tidak dapat dijelaskan, menyangkal mereka yang memproklamasikan bahwa derita kehidupan itu tak terhankan, menyangkal pernyataan: 'keadilan hanyalah ilusi'.
...clothing these conceptions with such an aura of factuality that...
Muncul pertanyaan: bagaimana penyangkalan terhadap ketidakteraturan dunia ini berubah menjadi kepercayaan? Geertz menjawab bahwa kepercayaan spiritual seseorang tidak datang dari induksi Baconian/Bayesian mengenai bukti-bukti empiris dari kehidupan sehari-hari, melainkan berasal dari penerimaan sebelumya atas otoritas kerangka pikir yang mentransformasikan pengalaman orang tersebut dalam pikiran mereka. Dunia kejadian merupakan ilustrasi dari doktrin, bukan pembuktian dari doktrin tersebut.
Kita menjustifikasi kepercayaan dengan menunjuk kepada suatu otoritas. Kita menerima otoritas tersebut karena kita memerlukan kuasa atas pemikiran kita yang tidak datang dari pikiran sendiri. Kita tidak menyembah otoritas, tapi menerima otoritas tersebut dalam mendefinisikan kita para umat. He who would know the religion must first believe
Perspektif religius berbeda dari common sense di mana ia tidak hanya menjelaskan realita kehidupan sehari-hari, namun juga realita alam semesta. Ia juga berbeda dari perspektif sains yang mempertanyakan realita dengan skeptisisme dan menguraikan dunia dalam alam hipotesis probablitas; agama mendefinisikan kebenaran yang bersifat non-hipotetikal. Bagi kacamata agama, realita bukanlah sebuah problem yang harus dipecahkan, melainkan sebuah misteri yang harus dijalani
Penerimaan otoritas yang mewarnai kacamata umat memanifestasikan diri sendiri dalam ritual. Ritual memunculkan sekumpulan perasaan dan motivasi--ethos--dan mendefinisikan sebuah pandangan mengenai realita melalui sekumpulan simbol dalam diskursi ritual itu sendiri. Pelaksanaan ritual merupakan transposisi pemodelan otoritas spiritual atas dunia dengan pemodelan dunia dalam pikiran umat.
. . . the moods and motivations seem uniquely realistic
Tiada orang, sesuci apapun dia, yang hidup dalam dunia simbol spiritual secara permanen. Kehidupan sehari-hari biasa dijalani dengan apa yang kita bilang common sense. Orang beragama sering saling menukarkan lensa common sense dengan lensa spiritual berkali-kali dalam kesehariannya. Ritual dan pelaksanaan agama merupakan sebuah kumpulan simbol yang menginduksi seseorang untuk melihat realita melalui simbol-simbol itu sendiri.

Kritik terhadap Geertz

Kritik paling tajam terhadap Geertz datang dari tradisi akademia post-modernist. Salah seorang murid Geertz mengkritik gurunya yang tidak dapat memperhitungkan efek relasi-kuasa terhadap konsepsi Geertz akan agama.
Dalam konsepsi diskursi Foucault, suatu pengetahuan dan pandangan seseorang atas dunia pasti dipengaruhi oleh struktur diskursi di mana orang tersebut hidup. Untuk mengetahui pengaruh lingkungan kebudayaan atas pemikiran, kita perlu melihat bagaimana orang-orang pada masa lalu melihat sebuah konsep dan membandingkannya dengan pandangan kita masa kini terhadap konsep yang sama. Di sini, barulah kita dapat mengidentifikasi apa sebenarnya hal yang memengaruhi pemikiran suatu kebudayaan. Geertz dilempar kritik bahwa ia tidak dapat mengidentifikasi efek institusi kuasa kebudayaan terhadap pemikiran terhadap suatu konsep--termasuk konsep agama.
Banyak juga yang menunjukkan bahwa dalam konsepsi Geertz, nasionalisme merupakan sebuah agama. Geertz sendiri tahu mengenai hal ini, namun ia tidak berkomentar. Ini bisa kita cerna sebagai kritik terhadap konsepsi Geertz, atau bisa juga sebagai kritik terhadap nasionalisme
Geertz memformulasikan teori dia mengenai agama setelah ia melakukan penelitian selama bertahun-tahun di Jawa dan Bali, sehingga mungkin teori inilah yang paling tepat untuk menjelaskan kasus yang kita angkat.

VII. Interaksi Religius dan Kultural antara India dan Indonesia Modern

Upaya pada tahun 1937 yang gagal tersebut diulang lagi pada tahun 1952. Bukan hanya karena tekanan dari Kemenag, tapi juga karena terjalinnya kontak antara India dengan Bali yang diawali oleh beberapa pemuka Agama Hindu India.
Narendra Dev Pandit Shastri datang ke Bali dari India pada tahun 1950 dengan tujuan untuk memperkenalkan Hinduisme India yang modern kepada masyarakat Bali. Ia didanai oleh seorang pengusaha India kaya yang mendonasikan jutaan rupee demi mempromosikan agama Hindu baik di tanah airnya maupun di luar India. Pandit Shastri merupakan satu dari banyak kaum religius-intelektual India yang menaruh minat pada Bali. Nasionalisme di India yang bangga atas pengaruh kultural-religiusnya dari zaman kuno terhadap Asia Tenggara.
Keinginan untuk menjalin hubungan baik dengan Indonesia yang baru saja lahir membuat pemerintah India gencar mempromosikan hubungan antara kedua negara, khususnya dengan Bali. Mereka memberikan beberapa beasiswa bagi pelajar Bali untuk belajar mengenai agama Hindu di Universitas Hindu Benares dan Universitas Shantiniketan Vishva Bharaty. Para pelajar yang mengikuti program beasiswa tersebut memiliki peran yang besar dalam perkembangan Hindu di Indonesia.
Kontribusi terbesar Pandit Shastri terhadap Hindu Bali adalah bukunya yang ia terbitkan pada tahun 1958 dengan judul ‘Intisari Hindu Dharma’. Dalam buku tersebut dirumuskan sebuah kerangka teologi komplit yang dipersetujui oleh pemimpin dari berbagai organisasi reformasi religius, diantaranya adalah beberapa mahasiswa Bali yang baru saja pulang dari mengenyam pendidikan di India.
Pada tanggal 14 Juni 1958, sebuah petisi yang menuntut pendirian sebuah bagian Hindu Bali dalam Kemenag dikirimkan ke pemerintah pusat. Petisi itu menyatakan bahwa Agama Hindu Bali tidak berkonflik dengan sila pertama Pancasila karena ia memiliki sebuah kredo yang berasal dari Mantram Sanskrit: ‘Om tat sat ekam eva advitiyam’ (‘Om, yakni Segala Sesuatu yang Tak Berakhir, Kesatuan). Nama yang diberikan terhadap Om tersebut diambil dari bahasa Jawa Kuno, yakni Ida Sanghyang Widhi Wasa, sebuah istilah yang memiliki dua arti. Pertama adalah ‘Penguasa Ilahi Alam Semesta’, dan kedua adalah ‘Kenyataan Ilahi yang Hakiki’. Makna pertama tersebut sesuai dengan konsepsi ketuhanan personal dari agama Abrahamik yang dalam diskursus Indonesia disebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan makna kedua sesuai dengan makna ‘Hindu’ menurut kaum nasionalis-Hindu di India. Dewa-dewi Bali yang beragam kemudian dikatakan sebagai aspek-aspek berbeda dari Sanghyang Widhi Wasa;, klaim yang mirip dengan rasionalisme teologi kaum Brahmana India mengenai dewa-dewi di India.
Pandit Shastri bersama dengan pandita-pandita lokal juga menyusun korpus kitab suci Agama Hindu Bali yang terdiri dari: Catur Veda, Upanishad, dan Bhagavad Gita, serta kakawin Jawa kuno yakni Sarasamuccaya dan Sanghyang Kamahayanikan. Dengan begitu, para maharsi India kuno serta para mpu penyair Jawa kuno menempati posisi nabi. Pandit Shastri juga memperkenalkan Mantram Gayatri kepada masyarakat Bali--salah sebuah bait mantra yang paling penting dalam Weda.
Ia kemudian mengumpulkan lagi mantra-mantra dari berbagai korpus tradisi Hindu dari India dan menamakannya sebagai Puja Tri Sandhya(Sembah tiga doa harian), sebuah inovasi yang asing bagi India maupun Bali. Tri Sandhya berperan sebagai sebuah ritual yang bersifat umum untuk semua masyarakat Bali, sehingga ia berperan sebagai sebuah alat pemersatu yang ampuh.
Dari korpus teks suci tersebut, ditarik juga lima kategori ritual bersifat wajib yaitu:
  • Dewa yadnya(pemujaan kepada Tuhan/Ilahi)
  • Pitra yadnya(pemujaan kepada leluhur)
  • Manusia yadnya(pemujaan kepada umat manusia)
  • Rsi yadnya(pemujaan kepada guru)
  • Bhuta yadnya(pemujaan kepada makhluk hidup dan alam).
Dibuat juga sebuah klaim bahwa kesemua variasi ritual di Bali merupakan manifestasi lokal dari kelima kewajiban tersebut, alih-alih ritual etnis yang berdasarkan atas kepercayaan animis dan politeis.
Semua inovasi ini gagal untuk diimplementasikan pada tahun 1937 karena pada saat itu kaum intelektual Bali belum mempunyai akses kepada teks-teks dan tafsir Hindu di India, sesuatu yang pada tahun 1950an disediakan oleh Pandit Shastri dan para mahasiswa yang belajar di India.
Petisi yang ditulis kaum intelektual Bali tersebut mendapatkan respons positif dari Sukarno. Latar belakang politik Sukarno yang dipengaruhi oleh Gandhi dan tafsirnya terhadap Bhagavad Gita, partisipasi dia dalam komunitas Teosofi jaman kolonial Belanda yang tertarik akan Hinduisme, serta darah Bali yang ia dapat dari ibunya bisa jadi merupakan alasan mengapa Sukarno melontarkan respons yang begitu positif tersebut. Apalagi, Sukarno yang tertarik atas perkembangan Hinduisme mengikuti beberapa pertemuan dari para intelektual Bali, sehingga ia familiar dengan ide-ide serta tokoh-tokoh dalam perkembangan Hindu Bali tersebut.
Pada tahun tanggal 1 Januari 1959, Agama Hindu Bali mendapatkan pengakuan terbatas dari pemerintah dengan terbentuknya Bagian Urusan Hindu Bali dalam Kemenag. Di tahun yang sama, seluruh organisasi keagamaan di Bali digabungkan ke dalam sebuah institusi formal yang berfungsi untuk mewakilkan komunitas Hindu-Bali secara keseluruhan. Institusi tersebut diberi nama Parisada Dharma Hindu Bali, dimodelkan dari struktur organisasi keagamaan parisad di India atas supervisi dari Pandit Shastri.

Bibliografi

Gvosdev, N. (2001), Constitutional Doublethink, Managed Pluralism and Freedom of Religion, State and Society
Ropi, I. (2017). Religion and Regulation in Indonesia. Jakarta.
Ramstedt, M. (2006). Hinduism in Modern Indonesia. London: Routledge Curzon.
Masuzawa, T. (2007). The Invention of World Religions. Chicago, Ill: Univ. of Chicago Press.
Geertz, C.(1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Pennington, B. (2005). Was Hinduism Invented. New York: Oxford University Press.
Durkheim, E. (1912). The Elementary Forms of Religious Life.
submitted by ExpertEyeroller to indonesia [link] [comments]


http://swiebodzin.info