Paintkunskaper över det vanliga.
Catatan:
- Kompatibilitas di sini nggak harus 100 persen sama, tapi at least ada beberapa yang bisa dikompromi dan disepakati.
- ini konteksnya di Indonesia ya karena kalau di tempat lain mungkin kompatibilitas agama nggak begitu penting tapi malah kompatibilitas ideologi, ras, dlsb misal di Amerika apakah kamu support BLM atau enggak, kalau di Korea Selatan mungkin pandanganmu terhadap aspek fisik dan perubahan fisik (karena di sana operasi plastik itu rampant) dsb
Tl;dr
- Worldview (Values), Sociocultural, & Religious Compatibility. Kalian religius kagak? Seberapa sering ke gereja atau masjid? Fundies or libs? Kl 1 religius 1 gak, gimana kesepakatannya? Gmn dg keluarga? Menurut kalian, gerakan 212, FPI, HTI, itu gmn? Pandangan kalau semisal pindah agama atau nikah beda agama? How about LGBTQ? Terus seberapa rasis kamu? Kl semisal punya tetangga chindo atau orang Papua gimana?
- SES, Lifestyle, & Financial Compatibility. Background keluarga gmn? Menengah, ke bawah, atau ke atas? Circle gmn? Dulu S1 jurusan apa dan kampus mana? Kerjaan sekarang jadi apa, di mana, & udah berapa lama? Sandwich gen bukan? Peran di finansial keluarga sbg apa? Gimana cara ngelola income & expenses? Lo tipe frugal or spender? Financial goal lo apa? Udah Investasi di mana aja? Apakah posisi saat ini ada hutang, cicilan, atau tunggakan paylater? Kl gak, apakah di masa depan ada rencana ngambil?
- Gender Role, Relationship, & Sexual Compatibility. How do you see you physical attractiveness of each other? Apakah kalian sexually active, terutama seks pranikah? Kl 1 sexually active 1 gak, gimana kesepakatannya? Pendapat soal kontrasepsi? PMO? Poligami ? Apa batasan selingkuh buat lo? Kontribusi apa sebagai cewek atau cowok yang bisa lo kasih? Kerjaan rumah tangga apa yang bisa lo pegang? Mau punya anak atau childfree? Kalau punya anak gimana parentingnya? Pendapat kalau cewek punya penghasilan lebih? Siapa yang jadi breadwinner? Mau SINK, DINK, SIwK(s), or DIwK(s)?
- Traits/Habits, Health, & Interest Compatibility. Ada traits or habits yang sering di point out sama orang-orang (baik yang positif maupun negatif)? Lo punya kebiasaan minum gak? Rokok? Party? Nge fly? Judol? Pinjol? Sering olahraga gak, kl iya olahraga apa? Ada penyakit atau kelainan khusus yang diketahui? Atau pantangan/ alergi / diet spesifik? Punya minat dan hobi di bidang apa? Ada hobi dan minat yang sama yang bisa dilakuin bareng nggak?
Background: belakangan saya sering melihat post berisikan pasangan yang "tidak harmonis", yang mana setelah menikah, mereka terlihat tidak harmonis. Then I look into some stats, dan saya menemukan bahwa
penyebab utama perceraian di Indonesia adalah pertengkaran terus menerus yang tidak ada kemungkinan rujuk, yang saya pikir itu absurd, karena pertengkaran pasti tidak akan terjadi kalau semisal tidak ada trigger-nya. Which is nggak terlalu useful. So, saya mencoba dive in ke sumber lain, so I find something like this:
- Cerai Gugat: Telaah Penyebab Perceraian Pada Keluarga di Indonesia : yang membagi menjadi Masalah Ekonomi, Komunikasi Buruk, Perselingkuhan, dan Sosial Budaya
- ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI KABUPATEN BANYUMAS, (JIKK IPB) yang membagi menjadi sejumlah variable yakni ekonomi, Suami tidak bekerja, pergi, tidak peduli dan tidak tanggung jawab, KDRT, perselingkuhan, kesulitan menangani perbedaan, istri tidak perhatian, istri pemarah, dan perkawinan tidak memenuhi harapan.
- FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERCERAIAN SELAMA MASA PANDEMI COVID-19 DI KOTA BUKITTINGGI (Psikologia Umsida), yang membagi menjadi sejumlah variable yakni Perselingkuhan, KDRT, Perselisihan dan pertengkaran terus menerus, faktor ekonomi)
So with those in mind, here are what I could come up with.
A. Worldview (Values), Sociocultural, & Religious Compatibility Worldview adalah cara pandang kita terhadap dunia, dan sering sekali memberikan identitas kepada kita. Hal ini termasuk adat-istiadat dari suatu suku atau etnis,
political leaning dan juga nilai-nilai keagamaan seseorang. Terlebih di Indonesia, di mana segala-galanya sering kali dikaitkan dengan agama, maka kompatibilitas di tiga hal ini menjadi cukup relevan. Pandangan atas worldview juga seringkali berdampak pada kompatibilitas lain. Sebagai contoh, jika kalian lebih condong ke arah liberal daripada konservatif, kalian mungkin akan cenderung mendukung feminisme dalam peran gender ketimbang patriarki. Jika kalian adalah Kristen yang taat, kalian mungkin akan setuju untuk mempraktikkan abstinence, dan sebaliknya kalau kalian nggak religius-religius amat, mungkin kalian akan setuju dengan premarital sex intercourse. Atau bisa juga kalian memiliki pandangan eksklusivisme, jadi kalau Chinese ya harus menikah dengan Chinese, kalau misal Islam menikah dengan Islam, dlsb, sementara ada juga orang lain yang kalau Chinese nggak harus nikah dengan Chinese, kalau Islam nggak harus nikah dengan islam, dlsb. Meski yah kita nggak bisa menyangkal kalau semisalnya latar belakang kultural pasangan jauh berbeda, maka mungkin akan muncul kesalahpahaman dan potensi konflik dibandingkan dengan latar belakang sosiokultural yang sama.
Kompatibilitas worldview, sosiokultural, dan agama paling optimal adalah 1) memiliki kewarganegaraan, ras, suku/etnis, dan agama; dan 2) memiliki sikap political dan ideological yang sama terhadap aspek-aspek ipoleksosbud-SARA (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, suku, agama, ras, antargolongan) dlsb. Sebagai contoh, sama-sama WNI, Jawa, Islam, terus sama-sama nggak terlalu njawani maupun Islam-nya sama-sama KTP.
B.
SES (Social Economy Status), Lifestyle, & Financial Compatibility Kompatibilitas Status Ekonomi Sosial, gaya hidup, dan cara pandang terhadap keuangan menjadi sesuatu yang juga penting, karena banyak banget yang merujuk kompatibilitas ekonomi ini sebagai issue. Kompatibilitas SES ini biasanya berkaitan dengan background keluarga dan personal, misal latar belakang pendidikan (baik orang tua maupun diri sendiri), pekerjaan , posisi di masyarakat, dlsb, termasuk juga apakah ada yang pernah terlibat masalah hukum. Lifestyle lebih bersikap ubringing dan circle pergaulan, e.g. where and how you spend your money, atau apakah kamu lebih frugal, minimalis, atau lebih ke suka spending. Adapun kompatibilitas finansial ya lebih ke perspektif atas pengelolaan keuangan pribadi, seperti balancing antara investasi, pengeluaran, dan pemasukan, jumlah tanggungan, asuransi, sumbangan yang bersifat keagamaan, dlsb.
Kompatibilitas SES dan keuangan ini bisa merupakan fakta/realitas maupun sikap. Contoh fakta/realitas adalah memang gap SES keluarga yang jauh (misal satu anak dari keluarga CEO, sedangkan satu lagi adalah anak dari keluarga buruh tani), atau dari sisi kestabilan antara pemasukan dan pengeluaran. Sedangkan sikap adalah sesuatu yang lebih mudah untuk dibentuk/diubah, misalnya adalah pandangan atas kesetaraan penghasilan, di mana laki-laki harus memiliki kekayaan dan penghasilan lebih tinggi daripada perempuan, tapi alih-alih generating another source of income, mereka justru melarang perempuan bekerja (ini ada kaitannya dengan kompatibilitas peran gender).
Kompatibilitas SES, lifestyle, dan finance yang paling optimal adalah apabila kedua pasangan: 1) berasal dari keluarga dengan SES & lifestyle yang tidak jauh berbeda; 2) memiliki latar belakang pendidikan yang tidak jauh berbeda; 3) memiliki pekerjaan dan penghasilan yang lebih kurang setara; 4) memiliki personal lifestyle dan juga circle yang tidak terlalu berbeda jauh; 5) memiliki sikap, kondisi, kebiasaan, dan goal keuangan yang mirip (ini biasanya berkaitan dengan lifesyle juga); serta 6) crisis management dalam hal finansial.
C. Gender Role, Relationship, & Sexual Compatibility Kompatibilitas peran gender, pola hubungan, dan seksualitas menjadi penting karena hal ini biasanya berkaitan dengan kesepakatan atas bagaimana kedua pasangan berinteraksi. Secara umum beberapa orang lebih menyukai peran gender yang dominan tradisional sedangkan beberapa lagi lebih menyukai dominan progresif, meski kebanyakan akan fall inbetween. Banyak sekali perselisihan yang muncul karena adanya ketidaksesuaian dari ekspektasi peran gender; misal dari yang paling sering beredar adalah ekspektasi atas cowok bayarin saat first date, atau cewek nggak boleh kerja/fokus ngurus rumah tangga dan anak saat sudah menikah.
Gender role sendiri berkaitan dengan domestic work & parenting, misal siapa yang dominan menjadi breadwinner (ini ada kaitannya dengan kompatibilitas finansial), bagaimana pembagian peran dalam mengurusi household chores (yang masak, nyapu, nyuci baju, dsb), atau apakah ada yang mau di-outsource (misal hire ART atau nanny). Begitu juga pola hubungan dan seksualitas, kalau LDR gimana, sikap atas hubungan seksual pranikah, sikap terhadap alat kontrasepsi, mau punya anak atau nggak, which body parts yang oke untuk diperlihatkan atau disentuh, sikap atas PMO (Porn, Masturbation, Orgasm) dlsb. Seksualitas ini juga termasuk physical attractiveness, semisal dari segi wajah dan badan, aspek fisik apa yang membuat kalian turn on, dsb.
Kompatibilitas peran gender, pola hubungan, dan seksualitas erat kaitannya dengan relasi kuasa, kalau kita lihat tuh banyak yang cerai karena ketimpangan relasi kuasa, misal KDRT, poligami, nikah siri, perselingkuhan, di mana ujung-ujungnya yang disalahkan atau menjadi korban adalah perempuan. Begitu pula adanya ekspektasi berbasis gender seperti disebutkan di atas, yang kadang jadi sumber perselisihan.
Kompatibilitas Gender Role, Relationship, & Sexual yang paling optimal adalah saat kedua pasangan; 1) memiliki kesepakatan yang jelas atas kontribusi maupun manajemen finansial rumah tangga, peran domestik, dan pola /peran parenting; 2) memiliki kesepakatan dan/atau ekspektasi yang jelas atas fidelity (eg poligami, batas perselingkuhan) dan bagaimana mengekspresikan hubungan romantis, baik interaksi yang dilakukan secara personal maupun di masyarakat; 3) memiliki pandangan yang selaras mengenai seksualitas, seperti pola, frekuensi, dan pendekatannya; serta 4) memiliki crisis management dalam hal peran gender, hubungan, dan seksualitas.
D. Traits/Habits, Health, & Interest Compatibility Kompatibilitas sifat, kebiasaan, kesehatan, dan minat ini biasanya berkaitan dengan yang lain-lainnya. Misal, personality traits dan habits itu pasti ada kaitannya dengan upbringing, SES, hubungan dengan orang tua, values/prioritas hidup yang kamu anggap penting, pandangan atas gender, dlsb. Nah, Kebiasaan ini ada yang bersifat baik dan buruk--di mana standar baik dan buruk ini sangat tergantung perspektif masing-masing (meski apabila dilakukan berlebihan juga tidak baik). Ada yang menganggap bahwa bersikap vokal / asertif merupakan sesuatu yang baik (biasanya distereotipkan dengan orang batak), sementara ada juga yang menganggap bersikap vokal itu buruk, dan kalau lebih baik mengalah daripada cari ribut (biasanya distereotipkan dengan orang Jawa). Tapi ada beberapa kebiasaan buruk yang kayaknya memang universally agreed menjadi sumber perceraian, yakn kebiasaan mabuk, judi, zina (ini konteksnya bisa perselingkuhan bisa prostitute), madat, ataupun apabila pasangan melakukan tindakan kriminal tertentu yang membuatnya masuk penjara. Begitu pula sikap kebiasaan yang membuat pasangan resort to violence atau abandonment, atau dari sisi finansial misalnya pasangan sering pinjol, judol, impulse buying, hoarding, dlsb ini biasanya juga jadi traits/habits yang red flag.
Begitu pula kesehatan, bahkan sangat disarankan untuk medical check up pranikah sebelum ke jenjang pernikahan, karena beberapa hereditary disease itu bisa lebih besar kemungkinan diturunkan apabila kedua pasangan memiliki gen carrier yang sama (misal dalam kasus penyakit thalassemia). Di samping penyakit bawaan, kesehatan juga termasuk kebiasaan hidup sehat (termasuk merokok atau konsumsi alkohol), pola olahraga dan pola makan, serta sikap terhadap pasangan atau anak apabila ternyata mengalami penyakit, kecelakaan/cacat, atau birth defect In fact, salah satu sumber perceraian tertinggi itu adalah apabila mengalami cacat badan, karena ini menempatkan pasangan dalam posisi caregiver, di mana nggak semua orang mampu atau siap.
Terakhir, interest itu merupakan sesuatu yang minor terutama kalau sudah menikah, tapi nggak jarang kalau terlalu berbeda, bisa jadi dealbreaker buat sebagian. Misalnya kalau nggak salah dulu ada yang sempat bikin post di sini soal pasangannya yang nggak begitu ngerti bahasa Inggris dan kurang tertarik dengan wold news / film berbahasa Inggris, yang ngebikin dia jadi kurang tertarik dengan pasangan itu (ini juga ada kaitannya dengan SES Compatibility, terutama dari segi pendidikan). Memiliki minat yang kompatibel juga berarti bahwa terdapat lebih banyak hal yang sama untuk dibicarakan, direncanakan, dan juga dihindari. Meski demikian, penting juga untuk mau berkompromi dan lebih baik lagi kalau mencari tahu lebih lanjut atas minat pasangan, sehingga dapat meningkatkan kompatibilitas.
Kompatibilitas Traits/Habits, Health, & Interest yang paling optimal adalah saat kedua pasangan: 1) memiliki ekspektasi yang jelas atas sifat dan perilaku (kebiasaan) apa yang acceptable / tolerable dan mana yang tidak; 2) memiliki pemahaman atas kesehatan dan pengelolaan kesehatan diri, 3) punya minat yang selaras, atau mau belajaberkompromi atas minat satu sama lain, dan 4) punya crisis management terutama yang berkaitan dengan kesehatan atau traits/habits tertentu
Hi all,
Gw (26F) recently balik ke Indo beberapa bulan lalu setelah tinggal lama di Eropa. Awalnya gw tinggal di Jakarta tapi karena berbagai alasan akhirnya sekarang stay di Jogja. Karena teman2 lama yang dulu gw kenal di Jogja entah udah gak disini lagi atau udh sibuk (married, punya anak, etc.) jadi kurang nyambung kalau ngobrol akhirnya gw mutusin buat terjun ke dunia dating, sekalian nyari temen2 baru buat hang out.
Gw sbnrnya bukan tipikal orang yg suka dating app, krn selama ini kebanyakan ketemu gebetan/pacar itu dari irl. Kebetulan juga dulu pindah ke Eropa pas masih ABG dan blm pernah dekat dg lawan jenis pas masih di indo jadi kisah2 cinta pertama emang sama orang luar.
Nah ada bbrp poin yg pgn gw ceritain berdasarkan pengalaman bbrp bulan di indo.
- Privacy
Gw observe ada bbrp pattern terutama dlm chatting. Selalu muncul pertanyaan ‘tinggal dimana?’ dan ini hampir selalu di awal percakapan. Like baru say hello lgsg ditanya ini. I get it kalau di Jakarta krn harus mempertimbangkan logistik dr segi macet jadi lokasi tinggal menentukan. But di Jogja ? Jogja itu kecil semacet2 nya juga gak bakal takes time se lama di Jakarta buat pergi ke Point A dari Point B.
Apa sih esensi nanya ini ? Jujur menurut gw ini aneh dan agak mengganggu privacy. Apalagi sering ketemu yg ngotot, udah dikasih jawaban area nya misal ‘Jaktim’ masih lagi ditanya detil nya dimana. Apa perlu kasih shareloc sekalian ? ~.~ belum juga ketemu, udah sebel duluan.
- Dating goal
Guys seem to have their goal set, tapi at the extremity. Either nyari istri dan pengen beranak pinak, atau ya bad boy mode yg cuma nyari ONS aja. Apa gak ada yg di tengah2 ? I mean gw sendiri lebih ke open book tergantung dari chemistry pas ketemu. Bisa jadi vibes nya cocok lanjut ke arah relationship, atau lebih cocok jadi ONS atau malah bisa jadi no chemistry at all. Sering juga ketemu yg baru chat dikit udah lgsg bahas nikah, bahas ngeroom, etc. Ini mood killer bgt ga sih ? Ditambah banyak yg profil nya kosong ga nulis goals nya apa. T.T
- Status ekonomi
Karena gw mulai jenuh dg dating app yg pattern nya gini gini aja, gw mutusin buat main twitter. Goal gw samsek bukan dating disini tp pure making friends aja (or moots?). So far cukup berhasil krn udh ketemu bbrp orang baru dr twitter dan we hang out regularly now.
Nah yg pgn gw cerita disini adalah pengalaman ketemu cowok yg terlalu merendah di dpn gw. Sebutlah mas A. Berawal keinginan nyari temen utk nemenin ke pasar buat bantu translate dlm bahasa jawa. Krn kita punya mutual friends gw setuju buat dijemput ke rumah.
Pas gw naik motor nya dan otw baru jalan bbrp menit mas A nyeletuk kalau dulu dia berprofesi sbg mas ojol dan bbrp kali ambil orderan di area perumahan gw. Gw sih biasa aja ya gw ga ngeremehin pekerjaan ojol karena gw tau jd ojol juga gak gampang harus panas2 an nyetir sana sini. Gw respon nya friendly aja nanya2 pengalaman dia ngojol dulu, kisah2 lucu apa dr penumpang. Tapi makin lama percakapan makin aneh dan makin satu arah. Mas A malah semakin mengangkat isu status ekonomi. Dari kisah hidup nya, background orang tua sampai yg paling aneh lagi cerita bagaimana dia pernah berpacaran dg cewek2 tajir yg anak org kaya, berprofesi sbg manager perusahaan ternama. Dan mas A mulai cerita ini semua within the first 10 minutes cabut dr rumah. :)))) jadi lah selama perjalanan gw mau ga mau harus dengerin kisah hidup nya yg kalau dilihat topik nya cuma satu: PERBEDAAN STATUS EKONOMI.
Jujur gw ga ngerti maksud dan tujuan cerita ini semua. Apakah mas A mau merendah untuk meroket sbg mas2 ojol yg berhasil menggaet cewek tajir dan mau trying to ‘impress’ me ? (Well gw sendiri ga nganggep gw kaya, rumah gw juga gak sebesar rumah Rafael alun) menurut gw sih agak aneh baru pertama ketemu udh bahas status ekonomi keluarga dan kisah percintaan dg detil.
Entahlah, cuma dia yg tau gw jg ga nanya. Tmn gw dr twitter juga cerita kalau dia pernah diajak ngedate sama orang twitter tapi sebelumnya nyeletuk ‘km cantik tp sayang ava km foto di mobil’ yg setelah dijelasin itu maksudnya si cewek ini naik mobil dan si cowok cuma motoran dan jd minder.
Jujur gw ga pernah mempermasalahkan status ekonomi orang dalam hal pertemanan ataupun dating. Mungkin ini bawaan habit di Eropa yg dmn kesenjangan sosial itu gak begitu terasa. Hang out sama yg ekonomi biasa2 aja sama yg anak orkay juga sama2 naik tram/bus bareng.
Setelah mas A ini honestly gw jd makin males ketemu orang baru untuk dating atau friendship kalau ujung2 nya bakal terbentur status ekonomi. Gw senang bergaul dg orang dr background apapun untuk networking dan juga denger kisah2 hidup yg berbeda2.
Tldr: status ekonomi kadang jd ‘momok’ atau penghalang utk ketemu orang baru.
Se penting itu kah status ekonomi buat ketemu orang baru di Indonesia ?
—
Sorry kalau panjang tp gw pgn tau opini kalian ttg yg gw alamin ini. Selamat 17an btw.